matraciceni.com

Penyalahgunaan QRIS Marak, Masyarakat Diminta Lebih Teliti

Wisatawan yang datang ke Desa Palaes, Sulut, tidak perlu khawatir soal penginapan karena terdapat berbagai homestay. Untuk transaksinya sudah menerima metode QRIS lho.
Foto: Andhika Prasetia/

Jakarta -

Kasus penyalahgunaan QRIS akhir-akhir ini semakin marak, salah satunya pemalsuan stiker QRIS. Lalu siapakah pihak yang harus bertanggung jawab?

Anggota Komisi XI DPR RI Melchias Markus Mekeng menganggap bank dan penyedia sistem layanan keuangan atau merchant aggregator dan payment gateway tidak bisa disalahkan ketika terjadi penipuan dengan QRIS yang belakangan marak terjadi.

Meski demikian, penipuan modus QRIS harus membuat para pedagang atau merchant dan lembaga lebih berhati-hati menempatkan kode agar tidak diganti pihak tak bertanggung jawab.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau ini nothing wrong sama QRIS-nya (penyedia sistem), ini masalah pemalsuan di merchant-nya, sehingga para merchant harus hati-hati terhadap penempatan stiker QRIS agar tidak dipalsukan," kata Mekeng dihubungi, Selasa (11/6/2024).

Ia mengingatkan para pengguna akun bank atau penyedia sistem keuangan berhati-hati ketika memindai QRIS. Terutama, kata dia, pengguna bisa memastikan pemimdaian QRIS menjadi milik pihak yang seharusnya.

ADVERTISEMENT

"Pemalsuan ini juga terjadi, contohnya di rumah-rumah ibadah, sehingga sebagai pengguna QRIS harus hati-hati dan teliti membaca rekening penerimanya," ujar Mekeng.

Dia juga mengingatkan para merchant atau lembaga bisa melakukan cek secara berkala terhadap QRIS yang terpasang untuk mencegah aksi penipuan. "Ya, pengecheckan rutin dan random," kata Mekeng.

Seperti diketahui sejumlah penipuan melalui QRIS masih marak terjadi. Selain QRIS 'palsu' di mesjid, ada juga modus menciptakan QRIS palsu yang seolah-olah berasal dari toko atau merchant yang sah.

Modus lain seperti scamming dimana pelaku penipuan mengaku sebagai pihak yang sah dan menawarkan hadiah (Giveaway) jika korban melakukan transfer mengunakan QRIS. Ada lagi modus dengan mengaku pihak dari bank dimana korban dalam percakapan dengan pelaku diminta memberikan informasi OTP dan dipandu melakukan transaksi QRIS.

Pakar hukum dan konsultan keuangan Hendra Agus Simanjuntak sepakat dengan pernyataan anggota DPR tersebut. Menurutnya, perusahaan penyedia sistem pembayaran biasanya sudah "mempersenjatai diri" dengan ISO 27001:2022 tentang Sistem Managemen Keamanan Informasi dan IS0 37001:2016 tentang sistem Managemen Anti Penyuapan.

"Jadi perusahaan sejak awal sudah membentengi diri dan meningkatkan kualitas managemennya untuk mencegah terjadi penyalagunaan transaksi digital, misalnya melalui QRIS," ujarnya.

Hendra menilai setiap terjadi penyalagunaan QRIS, maka penegakan hukum harusnya hanya berlaku kepada yang melanggar asas kepatutan tersebut. Ia menilai tidak adil jika terjadi satu kasus penyalagunaan QRIS oleh satu oknum, namun implikasi merembet keseluruh transaksi digital yang ada di penyedia system digital.

"Jadi kalau ada satu kasus, maka oknum itu saja yang mendapatkan efek hukum, misalnya blokir no rekening dan no hapenya. Sementara arus transaksi lainnya yang sesuai asas kepatutan, biarkan proses berjalan normal. Karena biar bagaimanapun, pasar digital, butuh kepercayaan konsumen yang sangat penting untuk dijaga," tegas Hendra.

Hendra menerangkan salah satu fungsi dari QRIS adalah memberi kemudahan bagi dalam bertransaksi di era digitalisasi saat ini. Namun, hal itu tidak menutup kemungkinan adanya oknum-oknum yang mencari celah menyalagunakannnya untuk kepentingan sendiri.

"Karena itu penting bagi regulator bersama sama dengan penyedia system pembayaran digital mencari rumus yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang ada seperti penyalagunaan QRIS ini. Aturan yang dihasilkan dijalankan dengan baik dan benar serta berkeadilan bagi semua pihak," tutupnya.

Sementara itu Anggota Komisi XI DPR Anis Byarwati menambahkan, pada dasarnya QRIS memberikan kemudahan terhadap proses transaksi pembayaran. Namun demikian, semakin mudah dan berkembang digitalisasi ekonomi, maka celah terjadinya fraud dan penipuan juga akan terjadi.

"Perlu untuk dipetakan penyebabnya, jika penipuan ini adalah karena kesalahan di sistem, maka regulator perlu menulusuri dan menindak. Namun jika persoalannya adalah pada penipuan yang menggunakan QR code palsu, maka yang seperti ini sudah di luar ranah dari regulator baik Bank Sentral ataupun OJK," ujar Anis.

Karena itu, kata Anis, perlu adanya sosialisasi, edukasi, dan pemberian pemahaman yang masif kepada masyarakat mengenai penggunaan QRIS beserta risikonya, sehingga membuat masyarakat memahami langkah-langkah transaksi digital sehingga lebih berhati-hati.

"Selain itu, diperlukan adanya pengembangan tertentu oleh aparat penegak hukum supaya siap dan sigap dalam menghadapi adanya tindak pidana transaksi digital yang memanfaatkan sistem QRIS, dan Menerapkan Undang-Undang ITE kepada pelaku yang melakukan penipuan terhadap konsumen dalam bertransaksi menggunakan QRIS," tutup Anis.

(rrd/rir)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat