matraciceni.com

Dulu PKL, Kini Alizar Punya 16 Kios Pakaian Dalam Perempuan

Alizar, mantan PKL yang berhaji bersama Maktour
Alizar, pemilik 16 kios pakaian dalam perempuan.Foto: Iqbal Arif Ismail/

Jakarta -

Terlahir dari pasangan petani, Amran dan Yulidar, di sebuah desa di Solok Sumatera Barat, Alizar mengaku punya prinsip serba mengalir dalam melakoni kehidupan. Ketika lulus SMP lalu memilih SMEA, dia bukan karena ingin menjadi ahli ekonomi tapi semata-mata karena sekolah tersebut jaraknya terdekat dari rumah.

"Biar irit ongkos dan hemat waktu," ujarnya tersenyum saat berbincang dengan di halaman Masjid Nabawi, akhir pekan kemarin.

Alasan serupa juga yang mendasari sulung dari 9 bersaudara itu saat memilih IKIP Padang melalui Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Alasan tambahannya, "Ya, yang penting saya bisa kuliah agar bisa jadi PNS untuk mengangkat derajat keluarga." Dengan menjadi PNS, Alizar berharap sapi ibunya yang dijual seharga Rp 1,4 juta bisa dia tebus kembali.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Juga dapat membantu membiayai sekolah adik-adiknya. Nyatanya selepas dari IKIP dengan IPK 2,75 pada 1995 Alizar berkali-kali gagal mengikuti tes PNS. Akhirnya dia memutuskan merantau, menyambangi kerabatnya di Ambarawa, Jawa Tengah yang punya toko pakaian.

Selama dua bulan lelaki kelahiran Solok, 3 Juli 1971 itu menjajakan pakaian untuk anak-anak dari kota ke kota di Jawa Tengah. Salatiga, Boyolali, dan Temanggung adalah wilayah edarnya sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL). Barang dagangannya dia beli dari Pasar Johar, Semarang.

Di tengah lakon sebagai PKL, seorang teman yang menjadi guru di Pulau Seribu, Jakarta mengajaknya bergabung. Sebagai alumnus IKIP, Alizar pun tergoda. Namun setelah melihat lokasi dan tahu gajinya tak seberapa dia memutuskan untuk kembali menjadi pedagang.

ADVERTISEMENT

Saat singgah ke kediaman tantenya di Pondok Gede, dia berjumpa dengan tetangganya di Solok yang punya konveksi pakaian dalam wanita. Dia pun ikut menjajakannya selama tiga bulan.

Hokinya sebagai PKL mulai terbangun ketika Alizar menemukan produk sejenis dengan kualitas lebih baik dan harga bersaing. Mereknya Cendana. Dengan modal Rp 650 ribu dia membeli pakaian dalam tersebut dari grosir milik Suasli di Jatinegara.

"Dia orang Padang juga. Saya beli cash dari tabungan dan menjualnya ke pasar di Jabodetabek hingga Sukabumi," tuturnya.

Sukses tersebut awalnya membuat ibundanya masygul. Bagi sang Bunda, anaknya menjadi PNS adalah segalanya karena bisa mengangkat derajat dan kehormatan keluarga. Namun dengan caranya Alizar berusaha menjelaskan bahwa secara ekonomi menjadi pedagang bisa membuat keluarga lebih sejahtera ketimbang jadi PNS.

"Tiap hari saya bisa jual 100 lusin celana dalam, kaos, BH, dan lainnya," ujar Alizar.

Ketika krisis ekonomi dan moneter menerjang pada 1997-1998, dia justru meraup cuan lebih besar. Sebab dia punya stok barang cukup banyak yang dibelinya setiap kali dapat cuan. Seiring dengan itu, Alizar hijrah dari Kampung Melayu ke kontrakan yang lebih besar di Jalan Asem Baris, Tebet.

Kesuksesannya itu membuat adik-adiknya satu persatu ikut merantau bersamanya di Jakarta. Mulai 2004, adik-adiknya disebar untuk membantu mengelola kios di PGC, ITC Depok, Tamini Square, Bekasi, Blok M. Square, dan di Tanah Abang. Dia sendiri mengelola langsung beberapa kios di Thamrin City sejak 2015. "Total saya punya 16 kios," ujar Alizar.

Dari hasil keuntungan berjualan pakaian dalam tersebut, suami dari Dariati itu dapat membelikan adik-adiknya rumah. Memberangkatkan orang tua dan mertuanya untuk berhaji dan umrah.

Namun ujian besar harus dihadapi ketika pandemi COVID-19 melanda. Kebijakan pemerintah yang membatasi aktivitas warga membuat dia rugi miliaran rupiah. Beberapa kios terpaksa harus tutup sementara. Dia menegosiasi ulang terkait cicilan dan sewanya.

Pasca pandemi tantangan baru muncul lewat berbagai aplikasi belanja online. Ayah 5 anak itu kembali harus melakukan adaptasi untuk bisa mempertahankan usahanya. Toh begitu, ibadah haji yang dilakukan saat ini semata-mata demi menggenapi rukun Islam. Sebab proses pendaftaran telah dilakukan sejak 2019 via Maktour.

Dia memilih biro ini bukan untuk gaya-gayaan, tapi karena ingin mendapatkan pelayanan terbaik agar bisa khusuk selama ibadah. Beberapa tahun sebelumnya dia kecewa saat haji dan umrah dengan biro perjalanan lain.

(jat/hns)

Terkini Lainnya

  • Tag Terpopuler

Tautan Sahabat