Penjarahan di kebun-kebun sawit masih terus terjadi, termasuk di Kalimantan Tengah. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono pun menyampaikan penyebabnya.
Eddy mengatakan kasus penjarahan itu terjadi lantaran adanya kebijakan yang masih tumpang tindih. Misalnya, kebijakan terkait Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) yang melibatkan beberapa kementerian, seperti Kementerian ATR/BPN, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Penjarahan di Kalteng luar biasa, satu hari itu bisa puluhan ton yang keluar dari kebun, dan mereka terang-terangan menjarah dan APH (aparat penegak hukum) tidak bisa berbuat apa-apa. Ini karena masalah kebijakan yang tumpang tindih. Contoh, ini masalah FKPM 20%, FKPM 20% ini dari Kementerian ATR/BPN ada permennya sendiri, Permentan ada sendiri, dari KLHK ada juga. Akhirnya mana yang kita pegang," kata Eddy dalam Forum Diskusi, Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Kamis (5/9/2024).
Kemudian, adanya aturan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138 tahun 2015 yang mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan). Dia bilang, dengan adanya peraturan tersebut membuat petani sawit proses perizinan untuk perkebunan sawit atau pengolahan CPO dapat dilakukan jika telah memiliki hak atas tanah (HGU) atau Izin Usaha Perkebunan (IUP). Namun, sekarang harus mendapatkan izin HGU-nta terlebih dahulu.
"Di situ yang awalnya bisa operasional dan/atau HGU, sekarang tidak bisa, harus HGU nya keluar dulu baru bisa melakukan operasional," jelasnya.
Dia menjelaskan penjarahan yang terjadi di Kalimantan Tengah bukannya petani sawit tidak mengurus HGU. Hanya saja, hal itu terjadi lantaran adanya izin yang diterbitkan berupa Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) dan Kawasan Pemukiman dan Penggunaan lainnya (KPPL) pada 2005 lalu.
"Artinya di situ adalah memang untuk kawasan budidaya. Tapi itu ada surat dari Dirjen Planologi yang ditarik Kaban waktu itu, dan berlaku surat itu. Akhirnya terjadi kekacauan, kementerian ATR tidak bisa mengeluarkan HGU itu karena dianggap masuk ke kawasan hutan. Nah inilah yang terjadi kekacauan-kekacauan seperti ini, mengakibatkan APH sendiri dengan putusan MK 138/2015 itu tidak berani berbuat sesuatu, malah justru itu dianggapnya kebun ilegal. Padahal itu sudah dari zaman sebelum 2005 dibangun," terangnya.
Dia pun menyebut petani saat ini membutuhkan kepastian untuk berusaha dengan menciptakan kebijakan-kebijakan yang kondusif dan tidak saling tumpah tindih.
Simak juga Video: Airlangga: Dana PSR Bagi Pekebun Sawit Bakal Dinaikkan Jadi Rp 60 Juta
[Gambas:Video 20detik]