Realisasi penyerapan pupuk bersubsidi pemerintah ternyata belum maksimal, jumlahnya baru mencapai 4,3 juta ton atau 41,95% dari alokasi 9,55 juta ton. Ombudsman RI mengatakan pemerintah bisa menempuh satu cara untuk menyelesaikan hal tersebut.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika menilai serapan masih tergolong rendah dan bisa menyebabkan tidak tercapainya target Kementerian Pertanian untuk meningkatkan produksi pangan. Yeka mengatakan rendahnya realisasi serapan disebabkan lambatnya kepala daerah dalam menerbitkan SK alokasi penerima pupuk bersubsidi sesuai penetapan alokasi baru.
"Penyebaran informasi tentang penambahan alokasi pupuk bersubsidi 9,55 juta ton baru direspons oleh petani di bulan Juni 2024," kata Yeka dalam keterangan resmi, Selasa (27/8/2024).
Selain itu, Yeka mengungkap penyebab lain adalah masih rendahnya penyerapan pupuk bersubsidi karena terjadi kebimbangan dan kekhawatiran dari distributor dan kios pupuk bersubsidi lantaran tingginya angka koreksi yang meningkat signifikan dari tahun 2023.
Dia menjelaskan jumlah pupuk bersubsidi yang dikoreksi pada 2023 mencapai sebanyak 4.000 ton. Sedangkan untuk periode Januari hingga Juni 2024 sudah mencapai 19.000 ton, angka ini disebutnya bisa terus bertambah apabila juknis penyaluran pupuk bersubsidi tidak diubah.
Ombudsman pun menemukan bahwa masih tingginya jumlah petani yang tidak melakukan penebusan pupuk bersubsidi. "Berdasarkan audit data penerima pupuk bersubsidi oleh Ombudsman dan Kementerian Pertanian, terdapat sekitar 954.000 petani penerima pupuk bersubsidi, tidak pernah melakukan penebusan dalam tiga tahun terakhir," beber Yeka.
Yeka pun menilai jika kinerja penyaluran pupuk bersubsidi masih rendah seperti sekarang maka bakal berimbas terhadap pencapaian target produksi pangan oleh pemerintah. Oleh sebab itu, dia menegaskan pemerintah masih memiliki sisa waktu empat bulan untuk meningkatkan penyaluran pupuk bersubsidi.
Namun di sisi lain, Yeka menuturkan perlu ada streamlining atas hambatan verifikasi yang selama ini menjadi kendala dalam angka serapan penebusan pupuk bersubsidi. "Salah satunya dengan perubahan juknis dan penggantian 954.000 petani yang tidak menebus dalam 3 tahun terakhir ini," tutur Yeka.
Selain itu, Yeka menjelaskan perubahan juknis penyaluran pupuk bersubsidi yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan kemudahan bagi petani untuk mengakses pupuk bersubsidi. KTP dapat menjadi alat sah dalam penebusan pupuk bersubsidi, sehingga konsekuensinya tidak diperlukan lagi petani melakukan tanda tangan digital.
Mengutip data PT Pupuk Indonesia, Yeka mengatakan terdapat sekitar 1.200 ton pupuk bersubsidi yang sudah disalurkan, namun tidak lolos tahapan verifikasi dan validasi akibat tanda tangan yang tidak sama dengan KTP.
Karena itu, dia mendorong agar petani dapat mewakilkan penebusan pupuk bersubsidi kepada kelompok tani atau keluarga dengan bukti penebusan yang jelas. Adapun surat kuasa kepada perwakilan kelompok tani juga disarankan dibuat sesederhana mungkin dan tanpa biaya tambahan.
"Ombudsman menangkap aspirasi para petani, pemilik kios, dan tim verifikasi dan evaluasi. Mereka berharap agar setiap langkah yang diambil dalam proses ini tetap sederhana dan mudah dipahami, tetapi tidak mengabaikan pentingnya tertib administrasi," pungkas Yeka.
(fdl/fdl)