Akhir-akhir ini industri keramik dalam negeri makin terpuruk. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebut salah satu penyebabnya lantaran banjirnya keramik impor asal China.
Pejabat Fungsional Pembina Industri pada Direktorat Industri Semen, Keramik dan Pengolahan Bahan Galian Non Logam Ashady Hanafie mengatakan untuk mengatasi hal tersebut, pihaknya telah mengenakan trade remedies mulai tahun 2015. Trade remedies merupakan instrumen untuk melindungi industri dalam negeri akibat praktik perdagangan internasional yang tidak sehat.
"Sebenarnya ini masalahnya sudah cukup lama berat dan jadi trade remedies mulai dikenakan tahun 2015 karena sudah mulai suffer," kata pria yang akrab disapa Shady dalam acara Diskusi Publik, Jakarta, Selasa (17/6/2024).
Pihaknya pun mengajukan permohonan penyelidikan tindakan pengamanan (safeguard) atas impor ubin keramik. Kemudian pada 2018, Menteri Keuangan menetapkan pengenaan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) atas impor ubin keramik selama tiga tahun dengan besaran tarif 23% untuk tahun pertama, 21% untuk tahun kedua, dan 19% untuk tahun ketiga. Kemudian BMTP diperpanjang kembali selama tiga tahun dengan besaran tarif 17% untuk tahun pertama, 15% untuk tahun kedua, dan 13% untuk tahun ketiga.
Ternyata, BMTP yang diterapkan tidak mampu menekan impor keramik asal China. Lonjakan impor ubin keramik yang membanjiri pasar dalam negeri, terutama dari China, lanjut Shady, menyebabkan ketujuh perusahaan industri ubin keramik yang menghentikan produksinya.
Berdasarkan data yang dipaparkannya, impor ubin keramik mengalami peningkatan. Pada 2020, impor ubin keramik mencapai 72,6 juta meter persegi. Tahun 2021, angkanya naik menjadi 84,3 juta meter persegi. Volumenya turun menjadi 70,2 juta ton pada 2022. Meski terjadi penurunan, terjadi lonjakan volume impor menjadi 93,4 juta meter persegi.
"Industri keramik itu sebenarnya kondisinya dalam saat ini tidak baik-baik saja. Safeguard ini ternyata tidak efektif. Di sini ternyata malah makin parah impor makin banyak," terangnya.
Lebih lanjut, dia membeberkan tantangan yang menjadi industri keramik dalam negeri. Pertama, pemerintah China menerapkan insentif tax refund sebesar 14%. Hal ini membuat industri keramik dalam negeri mengalami penurunan daya saing.
Kemudian, terjadi kenaikan biaya produksi sekitar 5-6%. Kenaikan ini terjadi usai terjadinya kenaikan bahan bakar dan pelemahan rupiah. Ditambah, ada kenaikan biaya transportasi, terutama ongkos angkut. Hal tersebut dapat membuat harga jual naik sekitar 1-3%.
Di sisi lain, alokasi penggunaan gas yang diberikan pemerintah belum mampu menutupi kebutuhan industri keramik dalam negeri. Dia pun berharap ada temuan ladang gas yang dapat dialokasikan 100% untuk industri keramik dalam negeri.
"Harga itu tidak diberikan seluruh jumlah gas yang dibutuhkan industri karena ada keterbatasan, paling banyak 70-80% itu diberlakukan karena adanya sumber, ada pembatasan bagian pemerintah. Misal, alokasi segini dibagi seluruh perusahaan itu, masing-masing dapatnya nggak sama, nggak sesuai yang mereka butuhkan," jelasnya.
Selain itu, dia menyebut yang diharapkan oleh pengusaha adalah persaingan yang adil, baik dalam negeri maupun di luar negeri. Saat ini, pihaknya tengah mendorong penerapan bea masuk anti dumping (BMAD) hingga 199% untuk menggairahkan kembali industri keramik dalam negeri.
"Jadi, kita mengambil tindakan mengajukan kembali untuk bea masuk anti dumping (BMAD) selama lima tahun dengan besaran tarif 100-199%. Kita akan lihat dulu di awal seperti apa dan nilainya sesuai hasil penyelidikan tadi 100-199% atau tidak. Kalau harapan kami diberlakukan yang tinggi," tambahnya.
Adapun 7 perusahaan industri keramik yang menghentikan produksinya:
1. PT Indopenta Sakti Teguh
2. PT Indoagung Multiceramics Industry
3. PT Keramik Indonesia Assosiasi - Cileungsi
4. PT KIA Serpih Mas - Cileungsi
5. PT Ika Maestro Industri
6. PT Industri Keramik Kemenangan Jaya
7. PT Maha Keramindo Perkasa
(rrd/rir)