Pemerintah dan DPR sedang menyusun Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan RUU (EBET). Salah satu yang ramai dibahas adalah skema pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik PT PLN (Persero) alias Power Wheeling.
Menurut Anggota Masyarakat Energi Baru Terbarukan Indonesia (METI), Riki Firmandha, skema power wheeling sudah dua kali dibatalkan di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Klausul power wheeling sudah dua kali dibatalkan oleh MK, nah sekarang ngapain pembahasannya masih masuk ke ranah yang sudah dinyatakan melanggar," ungkap Riki dihubungi, Jumat (6/9/2024).
Riki mengungkapkan, dalam pembahasan RUU tersebut masih terdapat indikasi kuat yang memaksakan skema power wheeling masuk ke dalam RUU EBET.
"Ini bakal berisiko mengerek tarif dasar listrik dan memperbesar anggaran subsidi yang diberikan oleh negara," ucap Riki.
Riki menjelaskan, masuknya power wheeling berisiko membuat harga listrik energi terbarukan menjadi berbeda dengan harga listrik yang sudah ditetapkan pemerintah. "Proses distribusinya pun akan membuat biaya energi makin mahal karena negara akan kesulitan menentukan tarif dasar listrik," kata Riki.
Ia berharap agar RUU EBET lebih fokus pada insentif yang diberikan kepada pengembang energi baru terbarukan. "Bukan malah melegitimasi liberalisasi sistem ketenagalistrikan," ungkapnya.
Lebih lanjut, menurut Riki, sebaiknya pembahasan RUU EBET juga berfokus pada bagaimana teknologi energi terbarukan dapat berjalan di Indonesia. "Hal ini sejalan dengan pemberian insentif atas teknologi energi terbarukan tersebut," katanya.
Dengan kebijakan pemberian insentif tersebut, Riki meyakini manfaat yang dihasilkan akan lebih besar untuk perkembangan atau pembangunan ekonomi melalui GDP. "Apalagi ke depan ada pajak karbon, ada mengenai pinjaman hijau, dan lain sebagainya," tegas Riki.
Dengan adanya pajak karbon yang dihasilkan dari RUU EBET, kata Riki, aturan itu bakal menguntungkan masyarakat. "Bukan malah merugikan masyarakat dengan membebani tarif listrik yang tinggi," tutupnya.