matraciceni.com

RI Butuh Rp 4.000 T buat Kurangi Emisi, Sri Mulyani Minta Swasta Berpartisipasi

Sri Mulyani Indrawati
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati - Foto: Instagram @smindrawati

Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan Indonesia membutuhkan US$ 281 miliar atau Rp 4.000 triliun untuk menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca dalam beberapa tahun mendatang. Kebutuhan pendanaan yang besar tersebut diakui tidak bisa hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Kita membutuhkan US$ 281 miliar atau Rp 4.000 triliun. Ini sekitar 1,1 dari total anggaran belanja Indonesia setiap tahunnya. Jadi tentu saja fiskal atau anggaran publik tidak bisa menjadi satu-satunya sumber," kata Sri Mulyani dalam acara Indonesia International Sustainability Forum 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jumat (6/9/2024).

Biaya itu untuk mengejar target pengurangan emisi karbon dioksida (CO2) sebesar 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,2% dengan bantuan Internasional pada 2030 sesuai target Nationally Determined Contribution (NDC). Sri Mulyani pun mengajak pihak swasta ikut berpartisipasi dalam upaya bersama ini.

Sri Mulyani mengaku telah menyiapkan ragam insentif bagi pihak swasta yang mau ikut terlibat. "Kami menggunakan instrumen fiskal kami seperti tax allowance, tax holiday, pembebasan bea masuk, untuk benar-benar menciptakan aturan bagi sektor swasta serta banyak lainnya untuk mencoba berpartisipasi dalam upaya ini," ucapnya.

Disamping itu, pemerintah juga sudah menciptakan banyak instrumen untuk meraih pendanaan perubahan iklim. Misalnya menerbitkan instrumen pembiayaan seperti sukuk, green sukuk atau blue bonds yang sudah diterbitkan sekitar US$ 7,07 miliar antara tahun 2018 hingga 2023.

Selain instrumen fiskal, pemerintah juga membangun mekanisme pasar untuk pembiayaan pencegahan perubahan iklim yakni penetapan harga karbon melalui pasar karbon yang diterbitkan melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon yang di dalamnya juga mengatur tentang pasar karbon.

Dalam aturan tersebut, salah satunya memuat mekanisme perdagangan yang akan memungkinkan untuk menetapkan harga dan mekanisme non perdagangan.

"Semua mekanisme ini sudah berjalan. Kami juga sedang mempersiapkan peraturan teknis untuk menerapkan perdagangan karbon lintas batas," jelasnya.

Laporan Citi Hard-to-Abate Sectors and Emissions II

Citi melalui Citi Global Perspectives & Solutions (GPS) mengeluarkan laporan terbaru berjudul "Hard to Abate Sectors and Emissions II: The Road to Decarbonization". Laporan ini membahas tantangan dan peluang terkait pengurangan emisi di sektor-sektor yang sulit untuk didekarbonisasi, seperti baja, semen, pengiriman, dan penerbangan. Sektor-sektor ini bertanggung jawab atas lebih dari sepertiga emisi gas rumah kaca terkait energi.

Dalam laporan dijelaskan bagaimana inovasi teknologi, kerangka kebijakan, dan peluang investasi diperlukan untuk mencapai pengurangan emisi yang signifikan di sektor-sektor penting ini. Laporan ini juga menekankan pentingnya upaya kolaboratif antara pemerintah, bisnis, dan lembaga keuangan untuk mengatasi krisis iklim global.

Investasi dalam transisi energi telah meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir, dari US$ 212 miliar pada tahun 2013 menjadi lebih dari US$ 1,7 triliun pada tahun 2023. Sebagian besar investasi ini dilakukan pada transportasi listrik dan listrik ramah lingkungan. Perlu adanya peningkatan investasi pada teknologi dan sektor lain.

Banyak dari sektor seperti seperti baja, semen, pengiriman, dan penerbangan diperkirakan akan tumbuh di tahun-tahun mendatang. Faktanya, jika tidak ada tindakan yang diambil, emisi dari sektor-sektor ini dapat meningkat lebih dari 50% pada pertengahan abad ini.

Cara mengurangi emisi dari sektor yang sulit dikurangi tersebut dapat dibagi menjadi empat kategori antara lain energi terbarukan dan nuklir, kemudian hidrogen bersih, lalu Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS), dan biomassa. (aid/kil)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat